Allah SWT menciptakan manusia di permukaan bumi ini
adalah untuk mengabdikan diri kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an
Surat Adz-Zariyat ayat 56 yang berbunyi,“Dan tidaklah Aku (Allah) jadikan jin dan manusia melainkan
untuk beribadah kepada-Ku." Melihat
pengertian ayat tersebut, jelaslah tujuan Allah SWT menciptakan kita ke dunia
ini yakni untuk beribadah kepada-Nya.
Dalam beribadah
kepada Allah SWT keikhlasan merupakan kunci utama. Ikhlas dimaksud yaitu ibadah
yang dilakukan tidak untuk keinginan yang lain akan tetapi murni untuk
mendekatkan diri kepada sang khaliq. Karena melalui keikhlasanlah kemurnian
ibadah itu dapat diperoleh.
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS. Al-Bayyinah : 5).
Melalui keikhlasan, amalan seseorang
akan jernih daripada kekeruhan. Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak akan
menerima amal, kecuali amal yang murni untuk-Nya dan semata-mata untuk mencari ridha-Nya”.
Dalam beribadah kepada Allah SWT, hindarilah
yang namanya sifat riya karena ia akan membuat amalan kita menjadi sia-sia, karena
ibadah yang dikerjakan bukan karena Allah melainkan untuk kepentingan dunia. Riya dalam beribadah yaitu
ibadah yang dilakukan supaya dilihat oleh manusia dengan tujuan agar memperoleh
kekuasaan, harta dan pujian. ”Barang
siapa mengerjakan shalat dengan baik ketika dilihat manusia dan mengerjakan
shalat dengan sembarangan ketika sendirian, maka yang demikian itu merupakan
pelecehan terhadap Tuhannya”. (Al-Hadist).
Dalam sebuah kisah
diceritakan : Pada suatu waktu sahur, ada seorang abid sedang membaca Al-Quran, surah
"Thaha", di dalam rumahnya yang berhampiran dengan jalan raya.
Selesai membaca, dia merasa mengantuk, lalu tertidur. Didalam tidurnya itu dia
bermimpi melihat seorang lelaki turun dari langit membawa senaskah Al-Quran.
Lelaki itu datang menemuinya dan
segera membuka kitab suci Al-Qur’an itu di depannya. Dibukanya surah "Thaha"
halaman demi halaman dihadapan si abid. Si abid melihat setiap kalimah surah
itu dicatatkan kebajikan sebagai pahala bacaannya kecuali satu kalimah sahaja
yang catatannya dipadamkan.
Lalu si abid berkata, "Demi
Allah, sesungguhnya telah kubaca seluruh surah ini tanpa meninggalkan satu
kalimahpun". "Tetapi kenapakah catatan pahala untuk kalimah ini dipadamkan?"
Lelaki
itu berkata "Benarlah seperti katamu itu. Engkau memang tidak
meninggalkan kalimah itu dalam bacaanmu tadi. Malah, untuk kalimah itu telah
kami catatkan pahalanya, tetapi tiba-tiba kami terdengar suara yang menyeru
dari arah 'Arasy : 'Padamkan catatan itu dan gugurkan pahala untuk kalimah
itu'. Maka sebab itulah kami segera memadamkannya".
Si
abid menangis dalam mimpinya itu dan berkata, "Kenapakah tindakan itu
dilakukan?".
"Puncanya adalah engkau
sendiri. Ketika membaca surah itu tadi, ada seorang hamba Allah melewati jalan
di depan rumahmu. Engkau sadari akan hal itu, lalu engkau meninggikan suara
bacaanmu supaya didengar oleh hamba Allah itu. Kalimah yang tiada catatan
pahala itulah yang telah engkau baca dengan suara tinggi itu".
Si
abid terjaga dari tidurnya. "Astaghfirullahal 'Azhim! Sungguh licin virus
riya' menyusup masuk ke dalam qalbuku dan sungguh besar kecelakaannya. Dalam
sekelip mata sahaja ibadahku dimusnahkannya. Gumam si abid tersebut dalam hatinya.
Bayangkanlah
jika dalam beribadah kepada Allah SWT kita pernah riya, betapa disayangkan
amalan tersebut karena tiada dicatat pahalanya. Semoga Allah SWT menjauhkan kita dari
sifat riya, Amin Ya Rabbal’alamin.
Referensi :
Said Qayyum. R.M, Suluk
di Jalan Allah.
Kumpulan Kisah-Kisah Teladan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar